H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. atau biasa dipanggil Ustadz Rasyid lahir di Desa Lipat Kajang pada tanggal 5 April 1986. Kakeknya dari pihak ayah adalah seorang pengamal Tarekat Naqshabandiyah dengan jabatan Khalifah Satu bernama Harok Bancin. Sementara kakek buyutnya dari pihak ibu adalah Raja Kerajaan Silatong bernama Raja Hidayo Bancin. Perpaduan antara darah agamawan dan negarawan menyatu dalam dirinya. Jiwa kepemimpinan sekaligus ulama makin terlihat saat ia menjadi pemimpin dan pengasuh Pondok Modern Daarur Rahmah Sepadan.

Ustadz Rasyid menjalani masa kecil di Kampong Silatong bersama keluarga besarnya, juga menempuh pendidikan dasar di SDN Silatong. Setelah itu melanjutkan studi ke SMPN Simpang Kanan namun hanya setahun saja ia jalani. Naluri untuk belajar agama lebih mendalam, ditambah dengan nasehat kakeknya membuat Ustadz Rasyid pindah ke MTs di Pondok Pesantren Baabussalam Batu Korong. Tentu saja ia mondok dan menjadi santri di pesantren ini. Adapun ayahanda dari Pengasuh Pesantren Batukorong tak lain adalah sahabat Harok Bancin, kakeknya Ustadz Rasyid.

Dua tahun belajar di Pesantren Batu Korong, Ustadz Rasyid melanjutkan pendidikan agama dan sekolah formal di Pondok Pesantren Daarul Muta’allimin Tanah Merah, sebuah pesantren terbesar dan legendaris di Aceh Singkil. Selama tiga tahun belajar di sini, Ustadz Rasyid dianggap memiliki kemajuan yang pesat dan melebihi teman-temannya sehingga ia kerap diminta untuk mengajar teman-temannya sendiri di dalam kelas. Tidak hanya itu, ia juga kerap diajak ustadz pembimbingnya untuk mengisi majlis taklim di dusun-dusun. Mengajar di dalam kelas dan mengisi pengajian di dusun menjadi proses pembelajaran sekaligus latihan bagi Ustadz Rasyid yang sangat berguna dalam perjalanan dakwahnya di kemudian hari.

Di Pesantren Tanah Merah pula jiwa kewirausahaan Ustadz Rasyid terasah. Di sela-sela kesibukan belajar, ia masih sempat berdagang di Pasar Rimo yang berjarak lima kilometer dari Pesantren. Setiap hari Minggu Ustadz Rasyid menjual barang-barang dagangan di pasar tersebut yang sebagian hasilnya ditabung dan dipakai untuk membangun sebuah rumah untuk salah seorang gurunya di Pesantren Tanah Merah.

Selepas menamatkan sekolah umum dan pesantren di Tanah Merah tahun 2005, Ustadz melanjutkan kuliah ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Selain kuliah, Ustadz Rasyid sempat mengikuti Kursus Bahasa Arab di Markaz Neil dan Bahasa Jepang di Japan Foundation Kairo sampai lulus. Didorong niat untuk membantu orang tua dan keinginan untuk mandiri membuat Ustadz Rasyid bekerja sambil kuliah. Sempat bekerja sebagai koki dan pelayan restoran sampai akhirnya ia membuat usaha sendiri bersama teman-temannya, antara lain rental mobil dan restoran. Niat hati hanya sekedar untuk membiayai sendiri hidupnya di negeri orang, namun usaha restoran bernama Cairo Restaurant (Caresto) yang dikelolanya malah berkembang pesat dan menjadi besar. Kuliahnya pun menjadi terganggu. Tahun 2008 Ustadz Rasyid memilih mundur dari usaha restoran dan pulang ke Indonesia untuk pindah studi di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta hingga lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Sosial Islam.

Setelah lulus kuliah tahun 2009 Ustadz Rasyid memutuskan untuk fokus terjun di dunia dakwah yang merupakan panggilan jiwanya. Ia pun mendaftar sebagai Da`i Perbatasan Provinsi Aceh dan diterima. Ia ditempatkan di Kampong atau Desa Sepadan, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam. Maka semenjak itu pula ia sibuk dengan kegiatan dakwah sesuai tugasnya. Namun jiwa wirausaha tetap saja tidak bisa lepas dari diri Ustadz Rasyid. Pada tahun itu pula ia membuka Biro Travel Haji dan Umroh Gadika Expressindo Cabang Kota Subulussalam. Usaha inilah yang nantinya banyak menopang kegiatan Ustadz Rasyid dalam pengembangan pesantren yang diasuhnya.

Da`i Perbatasan di Kampong Sepadan

Bulan April 2009 adalah kali pertama H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. menjejakkan kaki di Kampong Sepadan, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh. Kedatangannya ke desa ini adalah dalam rangka memenuhi panggilan tugas sebagai Da`i Perbatasan yang diangkat oleh Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.

H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. sendiri berasal dari Kabupaten Aceh Singkil yang merupakan wilayah yang serumpun dengan Kota Subulussalam. Sekedar menengok ke belakang bahwa Kota Subulussalam berdiri sebagai Daerah Tingkat II pada tahun 2007, hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil. Dan jika melihat lebih jauh lagi ke masa silam, penduduk Kota Subulussalam dan Aceh Singkil berasal dari suku yang sama. Mereka menyebut diri sebagai Suku Singkil dengan bahasa dan budayanya sendiri yang khas, berbeda dengan daerah-daerah lainnya.

Di masa lalu pula, Singkil memiliki masa kegemilangan sebagai daerah yang agamis dan melahirkan dua ulama besar yang sampai saat ini namanya harum di kalangan masyarakat Aceh, diakui kebesarannya secara nasional, bahkan juga meluas hingga negara-negara lain. Kedua ulama masyhur tersebut adalah Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Namun kebesaran masa lalu tersebut makin lama makin memudar hingga wilayah Singkil Raya – demikian sebagian orang menyebut untuk wilayah Aceh Singkil dan Subulussalam – seakan tenggelam dan membuat sebagian masyarakatnya menjadi miskin identitas terhadap sejarah dan budayanya sendiri.

Beratus tahun Singkil Raya terasing dari kancah percaturan politik dan budaya, bahkan semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga tahun 1999, Singkil Raya hanya ditempatkan sebagai daerah setingkat kecamatan. Jelas ini tidak sebanding dengan kebesaran sejarah masa lalunya yang bersinar dan disegani. Kondisi ekonomi dan peradaban masyarakatnya pun tertinggal dibandingkan dengan daerah lain sehingga dianggap perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Provinsi. Ditambah dengan letaknya yang secara geografis berada paling jauh dari Ibukota Provinsi di Banda Aceh dan berbatasan langsung dengan provinsi lain, membuat wilayah Singkil Raya disebut sebagai daerah yang terpencil.

Di sinilah, tepatnya di Kampong Sepadan, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam inilah H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. menjalankan tugas sebagai Da`i Perbatasan. Tahun 2009, desa ini termasuk daerah 3T: Tertinggal, Terdepan, dan Terluar dengan akses jalan yang sangat sulit menuju ke sana. Tugas utama Da`i Perbatasan adalah meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Tentu menjadi tambahan nilai positif jika mampu berperan meningkatkan perbaikan taraf hidup masyarakat dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan sebagainya.

Ustadz Sepadan

Kampong Sepadan adalah pemukiman transmigrasi yang mulai dihuni sejak tahun 1982. Dulunya daerah ini masih berupa hutan belantara yang masuk ke dalam wilayah Desa Dah. Maka ketika dijadikan hunian, tempat ini diberi nama Satuan Kawasan Pemukiman B Satuan Pemukiman 4 Unit Pemukiman Transmigrasi V Dah atau disingkat dengan SKP B SP 4 UPT V Dah. Lama kelamaan, masyarakat memberi nama sendiri untuk wilayah ini sebagai Kampong atau Desa Sepadan. Ketika Ustadz Rasyid masuk ke kampong ini pada tahun 2009, penduduknya berjumlah 800-an jiwa yang kebanyakan adalah warga transmigran.

Andai saja tidak terjadi konflik antara tahun 1998 sampai 2005, penduduk Sepadan saat itu mencapai 2.500-an jiwa. Tapi konflik bersenjata membuat dua pertiga penduduk Sepadan memilih pulang ke Jawa. Adapun yang masih mau tinggal di sana harus mengalami trauma psikis yang cukup berat karena sebagian menjadi korban kekerasan, bahkan ada beberapa korban yang meninggal dunia. Ustadz Rasyid hadir di tengah-tengah masyarakat yang masih membawa luka dan kurang percaya diri lantaran dianggap sebagai warga yang tidak tahu agama. Mereka didakwa sebagai warga pendatang yang gemar maksiat. Stigma negatif inilah yang mendorong sebagian warga ingin bangkit dan hendak menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang beragama sebagaimana warga Aceh lainnya, bahkan kalau perlu mereka hendak menunjukkan bahwa Kampong Sepadan bisa menjadi kampong santri.

Sebuah harapan yang terlalu tinggi pada awalnya. Namun kehadiran Ustadz Rasyid menjadi jawaban atas mimpi sebagian warga Sepadan. Pelan namun pasti, secara rutin dan berkesinambungan, Ustadz Rasyid melakukan kegiatan-kegiatan yang membuat wajah Kampong Sepadan menjadi berubah. Bermula dari pendirian Taman Pendidikan Al-Qur`an yang berkembang cepat, disusul dengan menyemarakkan pengajian orang tua. Semua itu dilakukan dengan pendekatan persuasif, menyelami karakter dan kebiasaan warga setempat tanpa adanya pemaksaan atau penghakiman jika ada yang belum mau menjalankan perintah agama.

Ustadz Rasyid tidak sekedar merintis dan mengajar, tapi dia terus mencari inovasi baru agar kegiatan keagamaan yang diasuhnya berkembang. Salah satu yang ia lakukan adalah menjadikan TPA di Kampong Sepadan menjadi semacam madrasah kecil dengan materi pelajaran yang lebih terpadu. Ustadz Rasyid juga menyempatkan diri untuk studi banding ke beberapa pesantren di Jawa, termasuk ke Pesantren Bayt Tamyiz Indramayu dan tinggal dua mingguan di sana untuk belajar metode Tamyiz. Sepulang dari pesantren tersebut, Ustadz Rasyid membawa metode Tamyiz dan ia terapkan di Sepadan. Hasilnya, kualitas pendidikan di TPA Sepadan semakin meningkat, gairah belajar anak-anak makin tinggi. Bahkan jamaah ibu-ibu semakin melimpah. Ini di luar bayangan para tokoh Sepadan sebelumnya bahwa desa mereka bisa berubah penampilan dalam relatif singkat, terutama dalam wajah keislamannya.

Adapun dalam keseharian, Ustadz Rasyid menempatkan diri sebagai bagian warga Sepadan tanpa membedakan antara penduduk lokal dan pendatang, semua adalah sama dalam pandangannya. Warga Sepadan yang mayoritas berasal dari Jawa itu pun merasa dihargai, tidak merasa direndahkan atau dipojokkan sehingga mereka pun banyak yang mau pergi ke masjid atau ke majlis taklim atas kesadaran sendiri. Secara bertahap kepercayaan diri warga Sepadan terangkat, mereka tidak lagi merasa diri sebagai kaum marjinal dengan tuduhan negatif yang selama ini dialamatkan kepadanya. Dan nama Ustadz Rasyid yang semakin lama semakin dikenal di mana-mana membuat nama Desa Sepadan ikut terangkat. Ini tak lepas dari keberadaan Ustadz Rasyid yang mulai dikenal oleh masyarakat Kota Subulussalam dan Aceh Singkil dengan julukan baru yakni “Ustadz Sepadan”.

Memang, semenjak datang dan bertempat tinggal di Kampong Sepadan, Ustadz Rasyid kerap diminta untuk mengisi pengajian di desa-desa tetangga. Bermula dari perkembangan jamaah pengajian di Sepadan yang pesat membuat salah satu desa tetangga – yakni Desa Pulo Kedep – meminta Ustadz Rasyid untuk mengisi majlis taklim di sana. Rupanya masyarakat Kampong Pulo Kedep juga menyukai cara penyampaian Ustadz Rasyid dalam memberikan materi pengajian.

Berita pun tersebar dari mulut ke mulut, tentang keberadaan ustadz muda di Kampong Sepadan yang isi ceramahnya enak didengar, merasuk dalam perasaan, dan mudah diamalkan. Lama-kelamaan Ustadz Rasyid diundang berceramah di mana-mana. Hampir seluruh kampong di Kota Subulussalam pernah mengundang dirinya. Hampir semua warga di Subulussalam juga mengenal dirinya. Semenjak itu Ustadz Rasyid bukan lagi milik warga Sepadan tapi sudah menjadi milik umat yang membutuhkan siraman ruhani darinya. Banyak orang yang terpikat oleh materi pengajian yang ia sampaikan sampai-sampai beberapa orang menyebutnya dengan panggilan baru yakni “Abuya Muda”. Panggilan Abuya biasanya disematkan kepada seorang tokoh yang berkharisma dan memiliki pondok pesantren, padahal Ustadz Rasyid saat itu masih sangat muda dan bukan pengasuh pesantren.

Pesantren Harapan Masyarakat Sepadan

Julukan adalah doa. Panggilan “abuya” mungkin bukan julukan yang serius disematkan kepada Ustadz Rasyid yang saat itu masih berusia 24 tahun. Namun panggilan itu mengarahkan pada kenyataan yang tidak disangka sebelumnya. Pada tahun 2010 Ustadz Rasyid mendapat tawaran untuk mendirikan pondok pesantren yang dananya berasal dari Timur Tengah. Orang yang memberi tawaran tersebut bernama Dr. H. Abdul Hadi, M.A. Perkenalan mereka terjadi secara tidak sengaja saat bertemu di Mekkah dalam kapasitas sama-sama sebagai pembimbing jamaah haji. Apalagi keduanya juga sama-sama pernah kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo.

Dr. H. Abdul Hadi, M.A. bukan sekedar membawa info tapi dia juga menjadi orang yang dipercaya pihak donatur dalam masalah penyaluran dana. Adapun syarat turunnya dana tersebut adalah jika ada lahan seluas 100 hektar yang legal dan siap dijadikan sebagai lokasi pesantren. Ketika Ustadz Rasyid menyampaikan berita ini kepada warga Sepadan, para tokoh kampong yang dimotori oleh Pak Suharsono sangat antusias dan hendak menyiapkan lahan yang mereka miliki. Mereka bersemangat karena memiliki lahan seluas itu. Namun takdir berkata lain. Sebagian lahan itu ternyata sudah diserobot oleh pihak lain. Akhirnya rencana membuat pesantren di Sepadan pun kandas.

Tawaran kedua datang, kali ini dari salah satu pesantren yang sudah cukup besar di Subulussalam. Pesantren tersebut hendak membuka cabang di Kampong Sepadan. Ustadz Rasyid dan warga Sepadan hanya diminta menyediakan lahan seluas beberapa hektar saja. Namun setelah beberapa lama, tidak ada tindak lanjut dari pihak pesantren. Kesepakatan pun batal dengan sendirinya. Pada saat itulah salah seorang teman Ustadz Rasyid saat kuliah di Universitas Al-Azhar datang ke Sepadan, namanya Indra Syahputra, S.H.I. Dia akhirnya memilih menetap di Sepadan untuk berjuang membantu Ustadz Rasyid.

Dua kali dibuai harapan namun tak berujung nyata membuat Ustadz Rasyid berniat mendirikan pesantren sendiri, tanpa perlu berharap dari pihak luar. Rupanya niatan ini didukung oleh warga dan para tokoh Sepadan. Kebetulan pada bulan Mei 2011, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus agamawan muda bernama Jamhuri, S.H.I. mendukung rencana ini dan ingin ikut bersama-sama mendirikan pesantren. Tanggal 20 Juni 2011 dibentuklah sebuah yayasan bernama Yayasan Daarur Rahmah Sepadan, di mana para pendirinya ada 7 orang dan Ketua Umumnya adalah H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I.

Pada saat bersamaan didirikan pula sebuah dayah bernama Pondok Modern Darur Rahmah Sepadan dengan menempatkan H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. sebagai Pengasuh Dayah. Lahan dan bangunan pesantren belum ada, untuk sementara kegiatan pesantren dipusatkan di Masjid Raudhatul Muhajirin Sepadan yang saat itu sudah ramai oleh kegiatan keagamaan.

Memenuhi Harapan Masyarakat Kampong Sepadan

Pendirian Yayasan dan Pesantren disambut antusias oleh masyarakat Kampong Sepadan. Sebuah lahan kebun di pinggir jalan menjadi awal mimpi yang sudah lama diidamkan oleh warga. Disusul dengan beberapa masyarakat Sepadan yang menyumbang tanah atau uang. Lahan yang cukup luas dan dana lumayan banyak pun terkumpul, menjadi modal awal untuk membangun pesantren harapan.

Sebenarnya tidak semulus itu proses pendirian pesantren. Sempat terjadi tarik ulur dalam memutuskan lokasi pesantren karena beberapa tanah yang diwakafkan berada agak jauh dari jalan. Adapun tanah pinggir jalan yang akhirnya dijadikan lokasi pesantren adalah tanah warga yang sudah pulang ke Jawa, yang lahannya tidak begitu luas sebenarnya. Itu pun tidak dihibahkan melainkan dijual dengan harga cukup murah. Akhirnya dengan dana pinjaman, lahan itu bisa dibeli oleh pesantren. Semenjak itulah beberapa warga menghibahkan tanah mereka yang berada di sekitar lokasi tanah tersebut hingga lahan yang dimiliki pesantren menjadi luas. Sangat layak untuk sebuah Pondok Modern dengan fasilitas yang memadai.

Itu baru tahap awal. Selanjutnya warga Sepadan bergotong royong membuat bangunan perdana untuk pesantren berupa masjid, asrama, dan kelas. Dananya berasal dari sumbangan warga Sepadan dan umat Islam dari luar desa. Adapun bahan yang masih bisa dicari seperti kayu diambil dari hutan. Semua dikerjakan oleh pihak Pesantren dan warga Kampong Sepadan dengan kerja bhakti yang dilakukan siang malam secara bergiliran. Nampak sekali semangat warga untuk melihat kampongnya segera memiliki pesantren. Mereka rela menyumbang dana dan tenaga.

Pondok Modern Daarur Rahmah Sepadan memang memiliki keunikan dibandingkan dengan dayah atau pesantren yang lain. Keunikan itu terlihat dari proses pendiriannya. Kebanyakan dayah didirikan setelah adanya lahan dan dana yang cukup banyak, atau didirikan oleh seorang ulama yang sudah memiliki nama besar. Tapi PMDR Sepadan tidak seperti itu. Pesantren didirikan atas dukungan sepenuhnya dari warga kampong, tanpa memiliki modal apa-apa, juga diinisiasi oleh seorang pemuda berusia 25 tahun yakni Ustadz Rasyid yang kebetulan saat itu memang menjadi sosok yang diharapkan oleh warga. Kalau pun ada keunikan lain, maka itu adalah sosok H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. yang notabene putra Singkil asli yang berhasil merebut hati warga yang hampir semuanya adalah pendatang dari Jawa untuk bersama-sama membangun desa tidak hanya di bidang agama saja, tapi menyeluruh meliputi aspek material dan spiritual, jasmani dan ruhani. Ustadz Rasyid memangkas sekat berupa suku dan asal-usul, ia persatukan dalam bingkai persaudaraan sesama umat Islam atau ukhuwwah islaamiyyah, juga persatuan sebagai sesama warga Aceh dan warga negara Indonesia.

Adalah Suharsono, seorang mantan geuchik (kepala desa) Sepadan sekaligus tokoh masyarakat yang banyak menyumbang dana, lahan, pikiran, dan tenaga. Dia sangat terharu atas capaian ini. Hanya dalam waktu dua tahun semenjak H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. bertugas sebagai Da`i Perbatasan di Sepadan, kampong ini sudah banyak sekali perubahannya ke arah positif. Dan terutama kehadiran pesantren bukan sekedar mimpi, tapi benar-benar terwujud meskipun saat itu belum tahu ke depannya bagaimana. Namun nama besar H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. yang sudah dikenal di seluruh Kota Subulussalam dengan sebutan “Ustadz Sepadan” serta keberadaan PMDR Sepadan sudah cukup untuk menjadi jawaban harapan warga Sepadan selama ini.

Bukan melebihkan atau mengada-ada jika Ustadz Rasyid adalah sosok yang selama ini diharapkan kedatangannya oleh warga Sepadan. Stigma negatif bahwa Sepadan adalah pemukiman warga yang kurang beragama dan banyak maksiat menjadi luntur dengan sendirinya, bahkan setiap kali terdengar sebutan Sepadan maka yang terlintas dalam benak adalah sosok abuya muda dan pesantren. Namun yang paling penting dari itu semua adalah perubahan yang nyata atas kondisi warga yang jauh lebih islami, kegiatan keagamaan yang maju, rasa percaya diri yang meningkat, serta perkembangan ekonomi yang terus naik seiring dengan semakin ramai dan besarnya PMDR Sepadan. Di luar itu, jumlah warga Sepadan yang melanjutkan kuliah juga banyak, sangat kontras dengan kondisi tahun 2009 di mana hampir tidak ada warga yang mau melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Dari Sepadan untuk Subulussalam

Bulan Juli 2011 adalah bulan berdirinya PMDR Sepadan. Selama satu tahun belum ada kegiatan pendidikan di lokasi pesantren karena masih dalam tahap pembangunan. Selama setahun itu pula kegiatan pendidikan masih sebatas non formal yang dipusatkan di Masjid Raudhatul Muhajirin Kampong Sepadan, sekaligus menjadi masa pengkaderan. Bulan Juli 2012 adalah awal penerimaan santri baru dengan fasilitas pendidikan yang masih sederhana. Bangunan dari papan kayu menjadi sarana untuk belajar serta tempat tinggal para ustadz dan santri. Namun kesederhanaan ini tidak menyurutkan anak-anak Sepadan untuk belajar di Pesantren. Sebanyak 13 anak Sepadan menjadi santri pertama, ditambah 9 santri dari daerah sekitar.

Semangat belajar yang tinggi ditunjang kurikulum yang jelas membuat para santri dan ustadz tidak merasa terkendala oleh sarana. Mereka tampil sebagai para pembelajar yang aktif, bahkan langsung menarik perhatian banyak pihak dengan beragam terobosan yang belum pernah dilakukan pesantren-pesantren lainnya di Kota Subulussalam. Beberapa ustadz dari Pondok Modern Daarussalam Gontor dan para alumni Universitas Al-Azhar sengaja didatangkan ke PMDR Sepadan. Penerapan berbahasa asing dan kualitas pendidikan formal menjadi perhatian utama di PMDR Sepadan, ditambah keaktifan yang tinggi di bidang seni budaya dan kepramukaan membuat pesantren baru ini mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Kota Subulussalam. H.M. Rasyid Bancin, S.Sos.I. sendiri selaku Pengasuh Dayah juga aktif dalam organisasi kepanduan tingkat Kota hingga Provinsi, ia diangkat sebagai Ketua Kwartir Ranting Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam.

Tahun 2013 PMDR Sepadan mendapat kunjungan langsung dari Prof. Dr. Syahrizal Abbas, M.A., Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh. Secara khusus beliau memuji kinerja Ustadz Rasyid Bancin sebagai Da`i Perbatasan berprestasi yang tidak sekedar menjalankan tugas dakwah di bidang keagamaan saja tapi juga ikut mengangkat kemajuan masyarakat Desa Sepadan di bidang sosial dan ekonomi. Keberadaan PMDR Sepadan adalah prestasi tersendiri bagi Ustadz Rasyid Bancin sebagai seorang da`i di mata Prof. Dr. Syahrizal Abbas, M.A. Setahun kemudian Kampong Sepadan mendapat kunjungan dari anggota DPR RI Komisi III Bidang Hukum dan HAM, H. Muslim Ayub, S.H., M.M. untuk meninjau kondisi warga Sepadan sebagai bekas korban konflik. Warga Sepadan sudah melupakan trauma konflik tersebut dan menatap masa depan dengan semangat baru. Ini menjadi catatan positif pembangunan sosial warga di bidang Hukum dan HAM. Semua ini tidak lepas dari peran Ustadz Rasyid Bancin dan keberadaan PMDR Sepadan.

Pada bulan April 2013 PMDR Sepadan mendapat perhatian dari Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Provinsi Aceh dan diberi sumbangan dana untuk membangun dua ruang untuk kegiatan mengajar. Bulan Mei 2013 giliran Pemerintah Kota Subulussalam yang ikut membantu pembangunan PMDR Sepadan yang diambilkan dari Dana Aspirasi DPRK Subulussalam. Adapun bantuan dari Pemko Subulussalam terus diberikan setiap tahun sampai tahun 2018, membuat PMDR Sepadan bisa terus memberikan sarana belajar yang cukup memadai bagi para santri yang terus bertambah setiap tahunnya.

PMDR Sepadan berusaha untuk tidak memberi beban yang berat kepada para orang tua santri. Maka uang pendidikan yang dibebankan pun tidak besar, hanya sekedar cukup untuk biaya konsumsi para santri. Itu pun lebih sering pihak Pesantren harus mencari dana tambahan untuk menutupi kekurangan. Ditambah dengan biaya operasional lainnya membuat Pesantren harus memiliki sumber pendanaan mandiri. Usaha Biro Tarvel dan Umroh yang dikelola Ustadz Rasyid Bancin adalah solusi untuk menutup kekurangan tersebut, dan selama ini segalanya bisa diatasi meskipun itu artinya Ustadz Rasyid harus mengalokasikan sebagian besar keuntungan usahanya untuk Pesantren. Dan ini memang sudah menjadi niatnya sedari awal untuk berjuang dan berkorban demi umat.

Seiring berjalannya waktu, peminat yang hendak belajar ke PMDR Sepadan semakin banyak. Bahkan pada tahun 2019 jumlah pendaftar melebihi kapasitas yang ditentukan. Niat hati hendak membatasi jumlah pendaftar namun rasa tidak tega membuat pihak Pesantren menerima semua pendaftar. Besarnya minat para calon santri – yang sebagian besar berasal dari Kota Subulussalam – memang menggembirakan. Namun ini juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena pihak Pesantren dituntut untuk bekerja lebih giat demi bisa memberikan layanan pendidikan yang baik kepada para santri.

Saat ini PMDR Sepadan sudah merupakan tempat pendidikan yang menjadi rujukan bagi para orang tua di Kota Subulussalam yang menginginkan putra putrinya mendapat pembinaan yang berkualitas dan seimbang antara pendidikan agama dan umum. Pengelolaan pendidikan yang tertib, visi yang jelas, serta format Pondok Modern yang diterapkan membuat para orang tua menaruh harapan masa depan putra putrinya di PMDR Sepadan. Lembaga pendidikan agama dengan sistem modern seperti PMDR Sepadan inilah yang selama ini diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Kota Subulussalam. PMDR Sepadan adalah jawaban atas kekhawatiran beberapa pihak atas masa depan generasi muda Kota Subulussalam yang masih mengeluh tentang kurangnya kualitas pendidikan dan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat, mengingat Kota Subulussalam adalah kota yang secara resmi menerapkan Undang-Undang Syariat Islam.

Perjuangan belum berhenti, masih banyak pekerjaan baru yang siap menanti. Semangat berinovasi dan jiwa muda dari para pendidik di PMDR Sepadan adalah modal besar untuk tetap melangkah tegak meskipun beberapa hambatan terkadang datang tanpa permisi. Dana pembangunan gedung adalah salah satu kendala nyata mengingat jumlah santri yang mengalami peningkatan pesat akhir-akhir ini. Kendala ini tidak akan melunturkan semangat namun justru melecut Pengasuh dan para pendidik di PMDR Sepadan untuk terus berjuang mewujudkan harapan masyarakat Kota Subulussalam yang kini banyak mereka sandarkan pada dayah ini.

PMDR Sepadan bukan lagi sekedar milik warga Sepadan. Sekarang dayah ini sudah menjadi milik umat, khususnya masyarakat Kota Subulussalam. Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam – H. Affan Alfian Bintang, S.E. dan Drs. Salmaza, M.A.P. – secara terbuka mengungkapkan harapan yang besar agar PMDR Sepadan bisa menjadi pusat pendidikan dan pengkaderan generasi muda Kota Subulussalam agar terlahir anak-anak muda yang memiliki spirit kuat untuk membangun daerahnya. Dari PMDR Sepadan inilah diharapkan muncul generasi baru yang memiliki dasar ilmu dan pengamalan agama yang memadai, cakap dalam ilmu pengetahuan, serta memiliki ketrampilan khusus untuk bersaing di dalam dunia profesi. Ini adalah harapan yang wajar, sama wajarnya dulu ketika warga Sepadan juga berharap memiliki pesantren dan merubah wajah desanya menjadi lebih maju di segala bidang.

Harapan masyarakat Kota Subulussalam rupanya melebar untuk memiliki sebuah tempat yang kondusif sebagai pusat kajian agama dan berkegiatan spiritual. Masyarakat Kota Subulussalam sendiri sebagian besar terkondisikan sebagai masyarakat muslim dengan tradisi tarekat yang sudah mengakar semenjak lama. Mereka membutuhkan sebuah sarana itu, dan tentunya harus berada di tengah-tengah komunitas muslim dengan tradisi ibadah, majlis dzikir, dan majlis taklim yang bagus. Adapun tempat dan komunitas yang mereka harapkan tersebut adalah PMDR Sepadan yang cenderung terbuka dan akomodatif untuk kegiatan keilmuan dan peribadatan seperti ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here